Friday, October 31, 2008

Demokrasi Tak Mensejahterakan Rakyat

Pilihan bangsa Indonesia atas demokrasi sejak gerakan reformasi bergulir ternyata keliru. Perjalanan demokrasi justru makin menyengsarakan masyarakat dan tidak menghasilkan kesejahteraan. Banyak kalangan menganggap bahwa demokrasi kini dianggap sudah kebablasan, salah kaprah. Walau demokrasi berjalan, banyak ekses seperti money politics, abuse of power, juga merajalela. Demikian ungkapan Ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita, dalam seminar nasional ‘Konsistensi Sistem Peradilan dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia pada Kamis 7 Agustus 2008 di UNPAR. (Pikiran Rakyat, 8/8/2008).

Hampir senada, Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa demokratisasi yang dinamakan reformasi, dalam kenyataannya telah berkembang dan menjelma menjadi kekalutan atau chaos dan anarki. (Koraninternet.com, 25/5/2008). Dengan realitas yang demikian, pantaslah kalau Kwik Kian Gie menyatakan bahwa demokrasi yang selama ini berjalan di Indonesia justru mengancam kedaulatan bangsa.


Demokrasi Mengancam Kepentingan Rakyat

Dalam buku, Apakah Demokrasi Itu?, yang disebarluaskan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, di halaman terakhir ditulis bahwa “Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, ia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta resiko kegagalan.”

Dengan demokrasi yang tidak menjanjikan apa-apa, jelas keliru kalau kesejahteraan yang menjadi dambaan masyarakat disandarkan pada proses demokratisasi. Pemerintahan SBY yang katanya paling demokratis dibandingkan dengan masa Orde Lama juga Orde Baru ternyata hanya menuai kesengsaraan. Tidak aneh jika pemerintahan sekarang kemudian sering disebut sebagai Pemerintahan Penuh Bencana. Berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat ulah kebijakan pemerintahan yang tidak pro rakyat, datang silih berganti dan membuat masyarakat berada dalam kondisi yang penuh beban. Kehidupan ekonomi rakyat tetap terpuruk. Jumlah kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Penyakit sosial pun bertambah mulai dari kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, hingga bunuh diri.

Sejak awal tahun 2008, masyarakat sudah dihadapkan pada kelangkaan sejumlah kebutuhan pokok, seperti kedelai. Masyarakat sempat kesulitan mendapatkan tempe dan tahu. Kenaikan harga bahan pangan dan pokok ini telah menggerus daya beli masyarakat.

Angka inflasi bergerak liar. Inflasi pada Januari 2008 meningkat menjadi 1,77%. Angka ini naik cukup tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang besarnya 1,1%. Meski pada Februari 2008 inflasi turun menjadi 0,65%, pada Maret inflasi kembali naik ke angka 0,95%. (Ahluwalia, Inilah.com).

Di Indonesia, alih-alih sistem demokrasi membawa kesejahteraan masyarakat, yang terjadi malah banyak kebijakan-kebijakan yang semakin liberal yang justru menambah kesengsaraan masyarakat. Berbagai kebijakan Pemerintah lebih memihak pasar yang dikuasai para pemilik modal daripada memihak kepentingan rakyat banyak. Contoh gamblang adalah kebijakan menaikkan harga BBM. Alasannya adalah karena standarisasi harga minyak dunia, juga untuk menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya investor asing dalam sektor ini. Kebijakan privatisasi di bidang kesehatan dan pendidikan, juga memihak pengusaha (pemilik modal).

Muncul pertanyaan: mengapa penguasa yang ada lebih memilih memuaskan kepentingan pengusaha (korporasi) daripada rakyat? Hubungan erat demokrasi dan negara korporasi mungkin bisa menjawab pertanyaan di atas.


Coorporation State
: Akar Penyebab

Sudah diketahui oleh umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana yang besar. Biaya besar ini dikeluarkan untuk kampanye yang legal sampai yang ilegal, suap-menyuap, money politics, lobi, bakti sosial atas nama partai dan lain-lain. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu; paling tidak, jaminan terhadap bisnisnya; bisa juga berharap ditunjuk untuk proyek bisnis Pemerintah. Jadilah elit politik kemudian didikte untuk kepentingan pengusaha.

Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan negara korporasi. Ciri utamanya lebih melayani kepentingan perusahaan (bisnis) daripada rakyat. Dalam konteks yang lebih luas, John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Man, menyebutnya corporatocracy. Intinya, demokrasi yang menjadi penopang kekuasaan perusahaan-perusahaan AS untuk menghisap kekayaan negara-negara seperti Indonesia dan menindas mayoritas umat.

Dalam konteks Indonesia, Kwik Kian Gie, doktor ekonomi lulusan Rotterdam, Belanda, menyebutkan bahwa sejak bulan November tahun 1967 Indonesia sudah menyerahkan dirinya untuk diatur dan dijadikan target penghisapan oleh korporasi internasional. Para pemimpin kita sendiri ketika itu menuntun korporatokrasi mulai beroperasi di Indonesia atas dasar infrastruktur hukum yang dirancang oleh korporasi-korporasi asing. (Koraninternet.com, 25/5/2008).

Kwik menyebutkan pengaruh Mafia Ekonomi sangat kuat dalam pemerintahan Indonesia. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui lembaga-lembaga baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu Dewan Ekonomi Nasional dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN, yang disponsori dan dipaksakan kepada KH Abdurrahman Wahid oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era Megawati mereka kembali sepenuhnya menjadi menteri-menteri yang menguasai dan menentukan kebijakan ekonomi. Dalam era ini telah diambil keputusan-keputusan dalam bidang ekonomi yang lebih memperburuk dan melapangkan jalan guna pengerukan kekayaan alam Indonesia serta pembenaran atas diobralnya aset nasional kepada swasta, terutama swasta asing, seperti pada kasus penjualan saham Indosat, dan sekarang dalam era SBY, kendali ekonomi semakin kokoh ada pada kekuatan asing. (Koraninternet.com, 25/5/2008).

Bagaimana caranya? Dengan alasan globalisasi, doktrin yang disebarluaskan sebagai suatu keniscayaan sejarah adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang komunikasi dan informasi, yang menjadikan suatu negeri tidak boleh memasang pagar apapun untuk melindungi dirinya sendiri. Kedaulatan negara menjadi sesuatu yang relatif. Dalam konteks ekonomi, Kwik menyebut, sistem lalu-lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya, liberalisasi total, globalisasi total, dan ‘asingisasi’ total. Bahkan dengan ungkapan unik, Kwik mengistilahkan slogan propaganda mereka, yang menginginkan penjualan aset-aset Indonesia kepada asing adalah “Apakah A Seng lebih baik daripada Asing?” Bahkan dengan logika simplistis, para ‘pakar ekonomi’ ini membela asing dengan kata-kata “BUMN minta diinjeksi uang oleh Pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada Pemerintah.” Kata Kwik Kian Gie, kalimat-kalimat ini berkumandang dalam sidang-sidang kabinet Megawati. (Koraninternet.com, 25/5/2008).

Apa yang terjadi di Indonesia bukanlah kasus. Ini adalah suatu pola, suatu sistem yang ingin diterapkan di seluruh dunia. Globalisasi menjadikan demokratisasi menjadi pilar dari political liberalism dan pasar bebas (market forces) sebagai pilar yang saling menguatkan satu sama lain. Karena itu, demokrasi tidak seiring dengan kesejahteraan, namun seiring dengan penguasaan aset oleh para pemilih modal.

Ambil contoh di Amerika yang sering dianggap banyak orang sebagai negara yang praktik demokrasinya paling maju, sistem politiknya terbuka dan semua orang bebas bicara. Bukankah yang namanya capital (harta) sangat menentukan jalannya sistem pemerintahan di sana? Jangan bermimpi untuk menjadi anggota Senat, Kongres, atau menjadi Presiden kalau tidak punya jutaan dolar; atau paling tidak, ada jutawan yang mem-backing-nya. Tidak bisa dipungkiri, man behind the gun pemerintah Amerika sebenarnya para pemilik modal besar, konglomerat, dan orang-orang kaya, yang bisa menentukan siapa yang harus duduk di kursi penguasa. Munculnya skandal-skandal politik dalam kampanye (money politics) akhirnya tak dapat dihindari. Belum lagi policy mereka terhadap komunitas Indian, orang-orang kulit hitam (negro), keturunan Amerika Latin (hispanik) yang menempatkan mereka pada—meminjam istilah Amien Rais—sub-human, warga kelas dua. Tidak ada persamaan hak dan keadilan bagi mereka. Belum pernah ada sejarahnya pemangku jabatan presiden Amerika berasal dari penduduk asli benua Amerika. Demokratiskah Amerika?

Karena itu, tidak aneh kalau pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clifrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, dalam demokrasi yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, meskipun mayoritas, kaum Muslim berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (capital).

Karena itu pula mungkin kita perlu memperhatikan teori yang dilontarkan Huntington mengenai demokrasi. Dia mengatakan bahwa dalam upaya mencapai demokrasi diperlukan prasyarat yang selalu melekat pada dirinya yaitu1:

  1. Diperlukannya suatu kemakmuran ekonomi dan diharuskannya sebuah persamaan yang tinggi.
  2. Struktur sosial yang kondusif.
  3. Lingkungan luar yang terus mempengaruhi terjadinya demokratisasi.
  4. Budaya yang mendukung.

Dari sini jelas, keliru mengharapkan kesejahteraan dari demokrasi. Secara teoretis, justru demokrasilah yang membutuhkan kesejahteraan, bukan sebaliknya.


Syariah untuk Kepentingan Rakyat

Syariah Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Pribadi-pribadi yang salih akan terbentuk dengan keimanan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tetapi ada pertanggungjawaban di akhirat yang akan menghisab apa yang dilakukan di dunia.

Dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah ilahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam.

Dalam konteks kesejahteraaan, Islam membagi bumi Allah dengan kepemilikan individu, masyarakat dan negara dengan tepat sesuai dengan realitas faktanya. Dengan begitu, kebutuhan pribadi dapat dijamin; keinginan untuk menikmati kebahagiaan duniawi juga tetap bisa dilakukan; penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang menjamin hajat hidup orang banyak pun dapat dipastikan dijamin oleh negara.

Islam memberikan jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga Negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk pada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusan tawanan Perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum Muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Qibti Mesir, lalu oleh Beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).

Dengan jaminan tersebut, pendidikan, kesehatan dan keamanan sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik individu, partai juga para pemilik modal yang haus terhadap harta milik masyarakat.

Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt. serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS at-Thalaq [65]: 3).

Allah Swt. juga berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu (QS al-A’raf [7]: 96).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [H. Budi Mulyana; Dosen FISIP UNIKOM-Bandung]

Catatan Kaki:

  1. SP. Huntington, Prospek Demokrasi, dalam Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown, Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan, (Jakarta: Erlangga, 1996, cetakan VI), hlm. 81-86.

No comments: