Friday, October 31, 2008

Bahaya Feminisme dan Liberalisme

Setelah Perang Dunia II, penjajahan tidak lagi melalui fisik, tetapi melalui pemikiran, yaitu menyebarkan ide sekularisme dan liberalisme. Ide ini melandasi seluruh aspek kehidupan. Untuk mengokohkan penjajahannya maka ide tersebut dijadikan konvensi internasional. Melalui PBB, konvensi berhasil mengikat negara-negara anggota PBB. Konvensi yang dimaksud antara lain Konvensi PBB yang berkaitan dengan HAM dan tentang perempuan yang bertujuan memajukan perempuan; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM (1948); Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966); Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and Development – ICPD) di Kairo tahun 1994 dan konferensi PBB tentang perempuan; Konvensi PBB tentang hak-hak politik perempuan yang telah diratifikasi dengan UU no. 68 tahun 1958 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan bab khusus tentang hak-hak perempuan.

Selama puluhan tahun terakhir PBB telah banyak menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita (baca: kebebasan wanita dari hukum Islam), mulai dari yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang keempat tahun 1995.

Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan 1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme. Pelaksanaan hasil konferensi tersebut diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization–Organisasi Non Pemerintah).

CLDKHI merupakan implementasi konvensi tersebut oleh Tim Pengarusutamaan Gender yang diketuai Musdah Mulia. Dalam menentukan isi CLDKHI (Caunter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), mereka merujuk pada “kitab suci”-nya, yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Deklarasi Universal HAM(1948) serta Kovensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (1966).

Pemerintah harus melaksanakan norma-norma dan instrumen-instrumen HAM internasional yang terkait dengan kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Pemerintah juga harus melaksanakan CEDAW. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi isi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) ini dengan dikeluarkannya UU no. 7 tahun 1984. Karenanya, Pemerintah telah mengesahkan undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak dan upaya melegalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan.

Sosialisasi ide Gender Eguality atau Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sangat massif baik melalui swasta semisal LSM, Ormas, Lembaga Pendidikan maupun Pemerintah. Bidang garapan yang dipengaruhinya mulai dari kebijakan sampai hal yang teknis. Wilayah kerjanya pun sejak dari tingkat nasional sampai dengan kelurahan, bahkan RT dan institusi paling kecil, yaitu keluarga.

Ide ini dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada, yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan; kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan; perempuan dan media; perempuan dan lingkungan serta anak perempuan.

Sosialisasi feminisme juga melalui lembaga pendidikan dan media, baik melalui lembaga pendidikan formal (misal: masuk salah satu mata pelajaran sampai pada kurikulum berbasis gender) maupun melalui pendidikan non-formal (misal: seminar-seminar, diskusi, diklat dan training). Media cetak pun tak ketinggalan semisal jurnal, majalah, koran dan buku; juga media elektronik, internet, televisi dan radio.


Serangan Terhadap Islam

Agar ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) diadopsi masyarakat, maka ide ini dibungkus dengan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dalam penyajiannya mereka ’melogikakan’ liberalisasi hukum Islam. Inilah racun-racun yang mereka sebar dan dibungkus dengan madu untuk menyerang Islam.

Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan.

Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat adanya pola-pola budaya; khususnya efek yang merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah dalam keluarga, kelompok kerja dan masyarakat (kepemimpinan ada pada pihak laki-laki).

Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih bias gender. Menurut mereka, harus ada rekontruksi dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai bias gender.

Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Karenanya, mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Mereka menyimpulkan bahwa Islam menghambat kemajuan wanita. Karena itulah mereka berupaya mengubah hukum Islam. Mereka juga menanamkan keraguan kepada umat Islam terhadap kebenaran ajarannya, khususnya dengan mempertanyakan keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan. Mereka mengatakan, hukum-hukum agama (Islam) telah memasung kebebasan perempuan, membuat perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami kekerasan. Dari sudut pandang inilah mereka membahas bagaimana upaya menyelesaikan masalah kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis mengusung ide semangat pembebasan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini hakikatnya adalah agenda liberalisasi hukum Islam. Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam bukunya, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Ridwan Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya adalah emansipasi (feminisme). Artinya, salah satu upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui gerakan feminis ini


Bahaya bagi Perempuan dan Umat

Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme tidak lebih merupakan alat musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme mengajak kaum Muslim beramai-ramai meninggalkan aturan agama yang dianggap sebagai penghalang kemandirian dan kebebasan perempuan.

Ide ini hanya akan membawa kerusakan pada tatanan individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan menularkan kerusakan dan kebobrokan masyarakat Barat yang kapitalis dan sekularis.


Khatimah

Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide sesatnya secara massif. Mereka berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela.

Oleh karena itu, marilah kita bersatu berjuang melawan ide liberal dan ide gender equality serta menjelaskan konspirasi di balik ide-ide tersebut di bawah payung PBB, yang bersifat internasional. Namun, kita tidak akan bisa mengenyakan ide feminisme maupun liberalisme sampai ke akar-akarnya kecuali kita memiliki kepemimpinan politik secara internasional, yaitu Khilafah ’ala Minhaj an-Nubuwah.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Rahma Qomariyah, S.Pd; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

No comments: