Sunday, August 10, 2008

Soal Jawab tentang Masjid, Qiyas, dan Hadiah

بسم الله الرحمن الرحيم
SOAL JAWAB

Soal pertama: Bolehkah mengunci tempat-tempat wudhu yang merupakan bangunan tambahan suatu masjid, atau mengambil kompensasi dari pemakaiannya? Apakah boleh menjual sebagian dari halaman masjid kepada orang dan hasilnya digunakan untuk membiayai kepentingan masjid? Atau di halaman itu dibangun rumah atau toko (kios) dan disewakan untuk (membiayai) kepentingan masjid?

Jawab :

  1. Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk menunaikan shalat lima waktu. Masjid itu sendiri meliputi bagian yang diteduhi oleh atap maupun halaman masjid. Hukum masjid adalah, bahwa masjid itu merupakan wakaf. Karena itu, masjid tidak boleh dijual, dan tidak boleh ada seorang Muslim pun dilarang mengerjakan shalat di dalamnya.
  2. Tempat (masjid) tersebut tidak boleh dibagi (diambil) sebagian untuk yang lain, selain shalat. Yakni untuk tujuan yang menjadi tujuan diwakafkannya tempat tersebut. Maka tidak boleh, ada bangunan yang dibangun di halamannya atau dipisahkan dari sebagian bangunannya untuk rumah dan yang lain.
  3. Jika di samping bangunan induk terdapat bangunan yang lain seperti rumah untuk imam, muadzin, atau fasilitas-fasilitas wudhu dan sebagainya, atau kios-kios yang berupa bangunan tambahan, maka hal itu boleh. Dengan kata lain, jika dinyatakan di dalam rencana pembangunan masjid tersbeut berupa bangunan: (a) ruang untuk shalat; (b) bangunan tambahan untuk tempat tinggal; (c) bangunan tambahan untuk fasilitas umum, sirkulasi air; dan (d) bangunan kios-kios, maka yang rencana bangunan seperti ini boleh. Masjid dan bangunan-bangunan tambahan itu semuanya berstatus wakaf untuk urusan masjid, dimana semua uang sewanya dibelanjakan untuk kepentingan masjid.
  4. Seperti yang telah disebutkan di atas, bangunan tambahan masjid adalah wakaf untuk kepentingan masjid. Karena itu, ketentuan asalnya, bahwa sarana airnya juga digunakan untuk orang-orang yang hendak menunaikan shalat tanpa imbalan (kompensasi) apapun dalam pemakaiannya. Selama waktu-waktu shalat, di mana pada waktu-waktu itu umumnya sarana air digunakan untuk tujuan menunaikan shalat, maka tidak boleh ada kompensasi apapun yang diambil dari pemakaiannya. Karena pengambilan kompensasi pemakaian sarana air tersebut dapat mendatangkan kesulitan dan batasan terhadap orang-orang yang hendak menunaikan shalat. Dan itu hukumnya haram. Namun, di luar waktu-waktu shalat, yakni jika diduga kuat pemakaian sarana air pada waktu tertentu itu bukan untuk kepentingan shalat, maka boleh mengambil kompensasi atas pemakaiannya. Sementara uang kompensasinya digunakan untuk kepentingan masjid, sebagaimana tujuan wakafnya.

Dengan kata lain, ketentuan asalnya memang tidak boleh mengambil kompensasi pemakaian fasilitas air dari orang-orang yang menunaikan shalat. Kecuali di luar waktu shalat, maka kompensasi tersebut boleh diambil dan itu untuk kepentingan masjid. Pengecualian di sini karena ada sebab, seperti untuk memelihara fasilitas air sehingga pemakaian umum di luar waktu-waktu shalat diatur (diambil kompensasinya) agar fasilitas air itu tetap bersih dan layak digunakan oleh orang-orang yang hendak menunaikan shalat dan semisalnya.

Harus diperhatikan, bahwa kebolehan tersebut berlaku di masjid yang tidak dibuka untuk menunaikan shalat kecuali pada waktu-waktu tertentu. Adapun di masjid yang berada di pusat kota, yang dibuka secara terus-menerus untuk menunaikan shalat, maka pada galibnya pemakaian fasilitas air yang ada adalah untuk kepentingan menunaikan shalat, maka tidak boleh ada kompensasi atas pemakaiannya.

Ringkasnya, pemakaian fasilitas air di waktu-waktu yang diduga kuat untuk menunaikan shalat, maka pemakaian fasilitas itu tidak boleh dipungut kompensasi. Karena membuat batasan-batasan terhadap orang yang hendak menunaikan shalat dalam masalah wudhu mereka dari pemakaian fasilitas masjid yang memang diwakafkan untuk itu, maka hukumnya tidak boleh atau haram.

Jika pemakaian fasilitas air di waktu-waktu yang diduga kuat bukan untuk kepentingan shalat, maka boleh mengambil kompensasi dari pemakaiannya. Itupun untuk kepentingan masjid. Dan boleh juga tidak disertai kompensasi.

Adapun di masjid-masjid pusat kota yang dibuka untuk menunaikan shalat secara terus-menerus bagi jamaah yang datang saat dikumandangkan adzan atau setelahnya, pada galibnya pemakaian fasilitas air yang ada adalah untuk kepentingan menunaikan shalat, maka tidak boleh dipungut kompensasi apapun.

Soal kedua: Kita tahu bahwa qiyas membutuhkan ‘illat syar’iyah, yakni ‘illat yang termaktub di dalam dalil. Lalu apakah itu akan terpenuhi atas dalil yang berupa Ijmak Sahabat? Jika ya, apakah ada qiyas yang ‘illat-nya termaktub di dalam Ijmak Sahabat?

Jawab: Ijmak Sahabat menyingkap adanya dalil, bahwa di sana terdapat hadits Rasul saw yang para sahabat beraktivitas sesuai dengan hadits tersebut, tetapi mereka tidak meriwayatkannya. Karena itu, apa yang berlaku bagi dalil juga berlaku terhadap Ijmak Sahabat. Keberadaan qiyas hingga dinilai absah, ‘illat-nya wajib berupa ‘illat syar’iyah, yakni termaktub di dalam dalil. Hal itu berlaku untuk semua dalil baik al-Quran, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat. Bila ‘illat termaktub di dalam suatu dalil, maka hukum menggunakannya dalam qiyas juga sah. Adapun jika tidak termaktub di dalam nash, yakni berupa ‘illat aqliyah, maka tidak sah digunakan dalam qiyas.

Adapun contoh ijmak yang di dalamnya termaktub ‘illat, adalah sebagai berikut:

  1. Telah ditetapkan dengan ijmak, bahwa semua orang yang terlibat dalam melakukan pencurian, tangan mereka harus dipotong. Kemudian diqiyaskan pada ijmak tersebut, hukuman bunuh (qishash) terhadap orang yang terlibat dalam melakukan pembunuhan. Kisah tersebut pernah terjadi pada masa Umar ra.. Telah diadukan kepada Umar satu perkara pembunuhan yang dilakukan sejumlah orang (tujuh orang). Umar ragu dalam menetapkan qishash atas pembunuhan yang dilakukan oleh tujuh orang yang saling bekerja sama dalam melakukan pembunuhan tersebut. Maka Ali ra. berkata kepadanya: “Wahai amirul mukminin, bagaimana pendapatmu seandainya sekelompok orang bekerja sama dalam mencuri onta, yang satu memegang satu bagian dan yang lain memegang bagian lainnya, apakah engkau akan memotong tangan mereka?” Umar menjawab: “Benar”. Ali berkata: “Demikian juga masalah ini.” Hadits ini dikeluarkan oleh ‘Abd ar-Razaq di dalam Mushannaf Abd ar-Razâq. Jadi, qishash atas orang-orang yang terlibat dalam melakukan suatu pembunuhan bisa diqiyaskan kepada potong tangan orang-orang yang terlibat dalam melakukan pencurian. Ini karena adanya ‘illat berupa keikutsertaan dalam sesuatu yang mewajibkan dijatuhkannya sanksi.
  2. Telah ditetapkan dengan ijmak, bahwa bagian waris nenek dari pihak ibu (ibunya ibu) adalah 1/6 (seperenam). Kemudian diqiyaskan kepada ijmak tersebut bagian waris nenek dari pihak bapak (ibunya bapak). Permasalahan ini pernah terjadi pada masa Abu Bakar ra. Abu Bakar memutuskan bagian waris bagi nenek dari pihak ibu adalah 1/6 (seperenam), dan tidak memberikan bagian kepada nenek dari pihak bapak. Setelah itu, beberapa orang dari kaum Anshar berkata kepada Abu Bakar: “Engkau telah menetapkan bagian waris bagi seorang wanita dari harta seorang laki-laki yang meninggal, padahal seandainya wanita tadi yang meninggal, laki-laki itu tidak mewarisinya, sementara engkau membiarkan (tidak menetapkan bagian) seorang wanita, padahal seandainya wanita tersebut meninggal laki-laki itu mewarisi semua harta peninggalan wanita tadi”. Abu Bakar pun menarik keputusannya dan memutuskan antara nenek dari pihak ibu dan bapak yang mendapat 1/6 (seperenam) bagian harta waris.

(Itu karena nenek dari pihak bapak, atau ibunya bapak, seandainya dia meninggal dunia dan ahli waris yang ada hanya anak dari anak laki-lakinya, maka cucunya itu bisa mewarisi harta peninggalannya. Sementara pada saat yang sama, bahwa nenek dari pihak ibu, atau ibunya ibu, seandainya dia meninggal dan yang ada hanya anak laki-laki dari anak perempuannya, maka cucunya tidak berhak mewarisi harta peninggalannya).

Soal ketiga: Para pedagang sekarang ini biasanya meletakkan hadiah di dalam barang-barang dagangan mereka dalam bentuk nomor yang dimasukkan di dalam barang (kemasan) serta nomor pemenang yang berhak mendapatkan hadiah. Atau dalam bentuk lembaran yang di dalamnya ditulis jenis hadiah yang bisa diambil dari pedagang tersebut. Atau hadiah itu sendiri ada di dalam barang yang dijual. Atau pedagang tersebut membuat pengumuman, bahwa siapa saja yang membeli dengan jumlah tertentu, maka dia berhak mendapatkan sejumlah bonus, atau yang sejenis.

Apakah praktek tersebut termasuk bai’ al-gharar (jual-beli yang bersifat manipulatif) ataukah praktek tersebut dibolehkan?

Jawab: Bai’ al-gharar (jual beli yang bersifat manipulatif) hukumnya batil. Barang yang diperjualbelikan harus ma’lûm (diketahui dengan jelas). Jika barang yang diperjualbelikan diketahui dengan jelas, maka hukum jual beli tersebut sah. Jika tidak, maka ketidakjelasan barang yang diperjualbelikan tersebut menjadikan jual beli tadi hukumnya batil.

Adapun kondisi yang disebutkan di atas, faktanya berbeda, sehingga hukumnya juga berbeda dengan bai’ al-gharar:

  1. Memberi sesuatu kepada orang yang membeli sejumlah barang tertentu sebagai tambahan atau hadiah hukumnya boleh. Jual beli tersebut juga sah. Tambahan tersebut termasuk hibah dan hukumnya juga sah.
  2. Meletakkan hadiah tertentu yang diketahui dengan jelas (ma’lûm) di dalam barang tertentu yang juga diketahui dengan jelas (ma’lûm) barangnya, seperti sendok, jam anak-anak, dan sebagainya; atau di dalamnya diletakkan satu lembaran yang tertulis hadiah, agar pembeli yang mendapatkannya pergi ke pedagang tersebut untuk mengambil hadiah atau bonus yang diketahui dengan jelas tertulis di lembaran tersebut, maka praktek seperti ini juga boleh. Jual-beli itu pun hukumnya sah selama barang yang dibeli tersebut diketahui dengan jelas (ma’lûm), misalnya (kotak plastik dan di dalamnya terdapat kotak kecil sebagai hadiah). Jual beli ini pun sah, karena harga kotak plastik yang di dalamnya terdapat jam —yang merupakan hadiah— tersebut telah dibayar. Jika di dalamnya ternyata tidak ada hadiahnya, maka itu juga boleh. Karena yang dibeli adalah kotak plastik, dan telah dibayar harganya. Penjual tidak terikat untuk memberikan hadiah di kotak plastik tersebut. Jika di dalamnya ada hadiah hukumnya juga boleh. Dan jika tidak ada pun hukumnya juga boleh.
  3. Adapun menjual kotak yang tertutup dan tidak diketahui apa sisi di dalamnya, kadang kotak itu kosong, kadang di dalamnya ada barang yang nilainya di atas harga yang dibayarkan, atau sama, atau kurang dari harga yang dibayarkan, maka yang seperti ini adalah jual-beli yang bersifat manipulatif (bai’ al-gharar). Jual beli seperti ini tidak boleh.
  4. Dicantumkannya nomor di barang tertentu yang sudah diketahui dengan jelas (ma’lûm), lalu pemiliknya dikenakan pungutan keikutsertaan dalam memperebutkan hadiah, maka praktek ini lebih layak disebut al-maysir (judi). Hal itu karena di dalam praktek al-maysir (al-qimâr [judi]), pihak yang menang mendapatkan dari pihak yang kalah, atau pihak yang beruntung mendapatkan dari pihak yang tidak beruntung. Setiap perkara di mana di dalamnya beberapa orang terlibat dalam bentuk, bahwa yang menang akan mendapatkan dari yang kalah, maka praktek seperti ini termasuk judi.

Seandainya beberapa orang bermain kartu dan orang yang menang mendapatkan sesuatu dari yang kalah, maka itu hukumnya sama dengan judi. Jika dua orang berlomba mengendarai kuda atau naik tangga atau mobil, dan orang yang menang dalam pertandingan itu mengambil dari yang kalah, maka statusnya sama dengan judi.

Jika sepuluh orang menuliskan nama mereka atau nomor di kartu, lalu mereka letakkan di sebuah kotak dan mereka menarik satu kartu, kemudian pemilik kartu itu mengambil dari mereka yang tidak keluar kartunya, maka itu pun merupakan bentuk judi dan hukumnya haram. Begitu seterusnya.

Sekarang, kita lihat nomor-nomor yang diletakkan di dalam barang yang dibeli kemudian diundi. Umumnya, penjual telah memperhitungkan harga hadiah tersebut. Misalnya, hadiah yang diundi nilainya seribu dinar, terletak pada nomornya 50. Nomor itu kemudian diletakkan bersama nomor lain di setiap kotak dari sepuluh ribu kotak, di mana nomor 1 diletakkan di kotak pertama, nomor 2 di kotak kedua, nomor 3 di kotak ketiga dan seterusnya hingga nomor 10,000 diletakkan di kotak ke sepuluh ribu, dan di antaranya terdapat nomor 50 (di kotak ke lima puluh). Penjual kemudina memasukkan (perhitungan) harga hadiah (seribu dinar) di dalam harga sepuluh ribu kotak, sehingga dia tidak menjual kotak tersebut dengan harga aslinya, yaitu satu dinar per kotak, tetapi dia menjual dengan harga 1 dinar 10 qirsy per kotak. Pada saat dilakukan pengundian, setelah terjual ke sepuluh ribu kotak itu, maka berarti penjual tersebut telah mendapatkan tambahan sebanyak 10,000 x 10 qirsy = 1000 dinar, yaitu harga hadiah yang dia bayarkan kepada pemenang. Maka pemenang telah mendapatkan hadiah dari harta para pembeli lain yang tidak beruntung nomornya, meski praktek tersebut tidak diumumkan (dirahasiakan).

Hal ini, meski ada kemungkinan bahwa hadiah itu diletakkan tanpa ada tambahan dalam harga jual barang, sebagai cara untuk mendorong customer, namun ini merupakan kemungkinan yang lemah, khususnya pada saat hadiah tersebut nilainya besar seperti undian mobil atau sejenisnya.

Dalam semua kondisi tersebut, meski tidak didasarkan kepada nomor-nomor orang yang tidak beruntung, maka itu termasuk dalam perkara-perkara syubhat.

Karena itu, saya nasehatkan agar saudara-saudara yang membeli barang yang ada nomor undiannya, untuk tidak ikut dalam undian tersebut. Hendaknya mereka menyobek nomor yang ada di dalam barang yang dibeli sehingga setan tidak bisa menggoda mereka supaya terus memperhatikan undian tersebut.

No comments: