Thursday, August 7, 2008

Muslimah Da’iyah Sejati

Pengantar

Muslimah pengemban dakwah (da’iyah) sejatinya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin umat. Oleh karena itu, dia harus bisa meningkatkan kualitasnya sehingga layak menjadi pemimpin yang baik di tengah-tengah masyarakat. Untuk menjadi pemimpin yang baik di tengah-tengah umat, Muslimah da’iyah dituntut agar senantiasa menyeimbangkan antara dakwah dan urusan rumah tangganya. Wanita pengemban dakwah harus bisa menyeimbangkan antara kewajiban dakwah dengan kewajiban terhadap anak, suami, orangtua dan tetangga. Ketimpangan menjalankan keseimbangan ini akan menjadi noda di tengah-tengah umat dan akan membahayakan dakwah itu sendiri.

Muslimah yang sudah menikah wajib mengetahui tugas pokok wanita, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Jika ia belum menikah maka baginya ada kewajiban birrul-walidayn. Selain itu kewajiban yang lain tidak boleh diabaikan terutama silaturahmi dengan kerabat dan silah ukhuwah dengan tetangga.

Muslimah pengemban dakwah harus menyadari bahwa dirinya adalah teladan bagi masyarakat. Karena itu, ia harus mampu menjadi ibu teladan, istri teladan, anak teladan yang berbakti kepada orangtua, tetangga yang baik, kerabat yang rajin bersilaturahmi, dll.


Muslimah di Rumah Tangga


Istri Teladan.

Istri teladan mampu memahami kebutuhan suami tercinta pendamping hidupnya. Sekalipun sang suami pengemban dakwah, ia juga manusia yang sama seperti suami-suami yang lain. Pengemban dakwah harus bisa menciptakan rumah tangga yang harmonis (rumahku surgaku), juga kehidupan suami-istri yang romantis. Istri salihah selalu berusaha memelihara rumahnya dan memenuhi hak-hak suaminya. Dia selalu taat dan berbakti kepada suami. Dia juga harus berbakti kepada mertua dan menghormati keluarga suami.

Istri teladan berusaha memperoleh dan mencurahkan cinta dan kasih sayang kepada suaminya, dengan penampilan yang baik, kata-kata yang lembut serta pergaulan yang disenangi suaminya. Dia selalu menyampaikan berita gembira. Jika ada berita menyedihkan dan mengguncang jiwa suami, ia akan memilih waktu dan cara yang tepat.

Istri teladan biasa membantu suami menaati Allah, baik dalam ibadahnya, dakwahnya, akhlaknya, dll. Dengan itu, mereka berdua selalu berada di bawah naungan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.

Istri teladan selalu berusaha mengambil hati suami supaya tidak timbul kebosanan, penyelewengan dan kekeruhan hati suami. Ia akan selalu berhias untuk suami sehingga suami selalu melihatnya dalam keadaan cantik dan menyenangkan.

Istri semakin cantik di mata suami jika memiliki sifat ceria, riang, gembira dan ramah tamah. Ketika pulang dalam keadaan letih, suami disambut dengan wajah ceria, senyum merekah dan kata-kata yang menyenangkan hingga lenyap keletihan dan beban pikirannya. Istri teladan akan selalu berterima kasih setiap kali suami melakukan kebaikan kepadanya.

Istri teladan senantiasa menyertai suami saat suka dan duka, terutama ketika suami ada di rumah. Ia menjadi penyejuk, penenang, pemaaf dan penghibur bagi suaminya. Dengan penuh cinta kasih, istri berusaha mewujudkan ketenangan, kegembiraan, kesejahteraan, ketentraman, kenikmatan yang halal dan kebahagiaan pada suami dan terus-menerus meraih/meminta keridhaannya.

Istri teladan akan memberikan kesempatan kepada suami agar menjadi ujung tombak dakwah dan mengorbankan apa pun demi dakwah. Ia sebagaimana Khadijah ra. yang mengorbankan hartanya demi dakwah Nabi saw. dan menenangkan Beliau kalau mengarungi kesulitan di medan dakwah. Ia seperti Fatimah ra. yang rela tangannya menjadi kasar karena mengerjakan tugas rumah tangga untuk memuluskan langkah Ali ra. dalam kancah dakwah. Khadijah dan Fatimah tak pernah menuntut harta, waktu dan beban rumah tangga yang berlebihan sehingga suami mereka lalai dalam dakwah.

Istri teladan adalah sahabat bagi suaminya. Layaknya kedua orang bersahabat, dalam rumah tangga akan timbul saling mengerti, saling berbagi, dan saling menyayangi.


Ibu Teladan.

Ibu teladan mengemban tanggung jawab sebagai pendidik pertama dan utama bagi generasi-generasi cerdas dan pencipta peradaban, yang pengaruhnya menyentuh seluruh jagad raya. Sekalipun ibu teladan seorang aktivis dakwah, anak tetap memiliki hak yang harus dipenuhi seperti anak-anak lainnya.

Kemuliaan, kehormatan, kesuksesan, ketakwaan dan kepemimpinan para tokoh-tokoh besar di kalangan Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in merupakan hasil tangan dingin dari para ibu-ibu yang agung, yang berhasil menanamkan jiwa kebesaran, nilai-nilai kemuliaan, dan semangat yang tinggi ke dalam jiwa putra-putrinya.

Ibu teladan lebih dekat serta mengenal keadaan dan perkembangan anak pada masa-masa pertumbuhan dan puber yang merupakan masa paling rawan bagi kehidupan mental, jiwa dan tingkah laku anak. Ibu teladan selalu meneteskan cinta, kasih sayang, kelembutan, penuh perhatian, pengorbanan dan senantiasa memberikan perlindungan kepada anak-anaknya, yang mengalir dari hatinya yang lapang. Anak pun dapat hidup bahagia, jiwanya sehat dan jauh dari berbagai penyakit dan permasalahan; hatinya penuh kepercayaan dan ketenangan serta optimis.

Ibu teladan mengerti jiwa, menghormati perbedaan karakter dan kecenderungan anak-anaknya sehingga dapat memasuki jiwa anak dan menyelami dunia yang masih bersih dan jernih, untuk menanamkan nilai-nilai luhur keislaman. Ibu teladan senantiasa pandai menarik hati anak agar mau membuka jiwa dan hatinya serta mengungkapkan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Ibupun menanggapinya dan berusaha untuk mengatasinya.

Ibu teladan selalu menyempatkan diri bermain dan bercanda dan berbasa-basi dengan anak, menyampaikan ungkapan-ungkapan yang menyenangkan, lemah-lembut dan penuh kasih sayang tanpa pilih kasih. Semua anaknya semakin cinta, sayang dan tidak pernah merasa bosan mendengarkan arahan dan bimbingannya. Dengan kesadaran hati mereka menjalankan perintah dan menerapkan nasihatnya; lidah mereka basah memanjatkan doa dan mereka senantiasa berbakti, menghargai dan menghormatinya.

Siraman kasih sayang ibu menjadi sumber inspirasi, kebaikan, kreasi, faktor kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Inilah sesuatu yang sangat berharga dan mulia pada kodrat kewanitaan, yang menjadi taman surgawi dunia. Ibu teladan akan selalu menjaga perkataan dan perbuatannya yang akan diteladani anak. Ibu teladan tidak kehilangan kesadaran dan keseimbangan emosinya sampai tega menyumpahi anaknya. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menyumpahi diri kalian; jangan pula menyumpahi anak-anak kalian dan harta kalian. Kalian tidak mengetahui saat permintaan (doa) dikabulkan sehingga Allah akan mengabulkan sumpah itu.”

Ibu teladan selalu mengawasi pendidikan anak dan mengarahkan anak dalam memilih buku bacaan, majalah, teman, kegemaran, sekolah, guru, dan saran informasi serta segala sesuatu yang mempunyai pengaruh dalam membentuk kepribadian anak, mendidik mental, jiwa dan akidah mereka. Itu ia lakukan dengan cara yang baik, tepat dan menyelamatkan serta selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan suami.

Ibu teladan bisa menyusup dalam jiwa anak yang paling tersembunyi lalu menanamkan sifat mulia dan nilai Islam yang luhur dengan baik dan tepat; memberikan teladan, bergaul dan memperlakukannya dengan baik, penuh perhatian, kelembutan, persamaan dan keadilan; serta memberinya nasihat dan bimbingan. Anak pun tumbuh normal dengan kedewasaan, wawasan luas, pemikiran matang, salih, berbakti, memberikan sumbangan yang dibutuhkan dan membangun di berbagai lini kehidupan.


Muslimah dalam Aktivitas Dakwah

Setiap Muslimah dalam proses aktivitas dakwah, harus senantiasa membangun dirinya agar memiliki karakter pemimpin yang baik. Beberapa karakter pemimpin yang baik di antaranya adalah:

1. Tidak bergaya instruksional.

Pemimpin yang sesungguhnya bukan sekedar mengumpulkan massa, lalu memaksa melakukan ini dan itu dengan gaya instruksi. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan di kantor, yang dilakukan oleh atasan kepada para karyawannya yang digaji. Kepemimpinan dalam dakwah dan kepemimpinan di tengah masyarakat bersifat sosial, sukarela dan tidak dibayar. Jadi, kepemimpinan bergaya instruksional dan diktator, yang hanya mengandalkan controling dan monitoring tidak akan berhasil. Kepemimpinan seperti itu hanya akan menghasilkan suasana penuh ketakutan. Rasa ketakutan akan mematikan potensi seseorang, karena selalu hidup dalam suasana penuh tekanan dan keterpaksaan, bukan kepatuhan.

2. Pendekatan ide kepemimpinan berpikir.

Pemimpin yang baik harus melakukan pendekatan yang benar terhadap sekelilingnya. Dia harus berbaur dan menyatu dengan orang-orang yang dipimpinnya, bukannya mengambil jarak dan menjadi mercusuar bagi sekelilingnya.

Kepemimpinan dakwah harus menggunakan pendekatan ide, karena kepemimpinan dakwah adalah kepemimpinan berpikir. Aktivis dakwah harus dapat menggerakkan orang-orang di sekitarnya. Jadi, pemimpin yang baik harus bisa menjadi inspirator dan motivator, bukan diktator. Orang-orang yang dipimpinnya pun bergerak karena kepemimpinan berpikir, bukan karena taklif (instruksi).

3. Selalu berprasangka baik.

Aktivis dakwah tidak boleh diliputi prasangka buruk (su’uzhan), tetapi selalu diwarnai prasangka baik (hushnuzhan). Jadi, pemimpin jangan hanya melihat kesalahan atau kelemahan dari orang-orang di sekelilingnya, tetapi harus bisa menunjukkan kebaikan mereka sehingga mereka selalu berpikir optimis dan selanjutnya akan menimbulkan rasa percaya diri untuk bisa meraih kesuksesan.

4. Permudahlah, jangan mempersulit.

Buatlah segala sesuatu menjadi mudah, dan jangan dipersulit. Rasulullah saw. ketika menyeru kepada manusia tidak pernah memaksa, tetapi selalu mengingatkan pada janji-janji Allah. Pada saat Perang Khandaq, ketika Beliau meminta-minta berulang-ulang kepada para Sahabat agar ada yang memata-matai musuh untuk mencari informasi, dan tidak ada yang merespon, Beliau tidak mencela para Sahabat, tetapi mengingatkan dan terus mengingatkan bahwa Allah akan memberikan kebaikan kepada kita kalau kita melakukan perintah-Nya. Akhirnya Beliau mengutus Huzaifah untuk tugas spionase tersebut.

5. Memahami realitas manusia sebagai manusia.

Semua manusia punya kelemahan. Pemimpin harus selalu menasihati, jangan pernah bosan. Abdurrahman bin Rawahah sebagai komandan perang tidak pernah mengatakan kepada pasukannya, “Kalian kan para Sahabat, kok takut berperang.” Namun, beliau mengingatkan, “Kita berjuang dengan kekuatan iman kepada Allah dan bukan dengan kekuatan jumlah atau fisik.”

Jadi, pemimpin yang baik harus memiliki pengertian terhadap orang yang dipimpinnya, lalu memotivasi dengan mengingatkan tentang ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, pemimpin tersebut akan mendapat banyak kepercayaan dari orang-orang di sekelilingnya.

6. Memberikan kenyamanan kepada yang dipimpin.

Pemimpin yang baik, ketika berada dimanapun dia disukai, dicintai, bahkan ditunggu-tunggu sebagai tempat curhat, mencari solusi; bukan sebaliknya, menimbulkan ketakutan. Ia memiliki kemampuan empati kepada orang lain dan mau mendengarkan masukan-masukan dari yang dipimpinnya. Ia pun berusaha mencari tahu kesalahannya sebagai pemimpin dari orang lain.

Ketika ada kesalahan, justru mengingatkan bahwa kita masih memiliki banyak kebaikan-kebaikan lain sehingga setiap kesalahan pasti ada jalan keluarnya, dan memberikan keyakinan bahwa kita pasti bisa.

7. Kondisikan selalu hubungan sebuah tim.

Tujuan dakwah yang agung, yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam, memerlukan sebuah kerjasama tim yang solid. Oleh karena itu, setiap pemimpin perlu mengkondisikan hubungan tim dalam dakwahnya. Diperlukan upaya pemetaan terhadap potensi dan kondisi yang ada pada setiap individu dan di sekitarnya, kemudian merencanakan bersama apa yang bisa dilakukan dengan potensi dan kondisi yang ada.

Selayaknya sebuah tim, kekurangan dari yang satu akan ditutupi oleh kelebihan dari yang lain.


Khatimah

Dengan karakteristik pemimpin yang dipaparkan di atas, maka setiap orang akan termotivasi dengan mengatakan, “Apa yang bisa kita berikan untuk Islam dan dakwah ini?

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

No comments: