Sunday, August 10, 2008

Krisis Darfur, Butuh Solusi Islam

Situasi di Darfur belakangan ini menarik perhatian banyak pihak. Bagi sebuah negara di Afrika, perhatian ini tentu saja bukan hal biasa. Apalagi Goerge W Bush dan Tony Blair berkali-kali memberikan komentar tentang negeri ini. Hal itu sudah cukup untuk mengundang kecurigaan, ada apa di Darfur dan apa kepentingan Barat di sana?

Di media massa Barat secara sederhana sering diungkap yang terjadi di Sudan adalah pembantaian milisi Arab Janjaweed terhadap ‘black african’ (penduduk asli Sudan). Rezim AS sering menyebut di Sudan terjadi pembantaian massal (genocide). Kata-kata propaganda yang patut ditertawakan mengingat AS sendiri berlaku kejam AS di Irak dan Afganistan.

Memang benar, ada konflik di sana. Menurut banyak Badan Bantuan yang ada di sana, diperkirakan ratusan ribu orang terbunuh. Selain itu 2,5 juta melarikan diri sebagai pengungsi. Namun, banyak fakta yang tidak diungkap oleh media massa Barat dan masyarakat internasional apa yang sebenarnya terjadi disana.

Penting untuk diketahui, rezim Sudan, Janjaweed (milisi Arab), dan pemberontak di Darfur, semuanya adalah Muslim. Janjaweed berasal dari Baggra (Baqqarah dalam bahasa Arab). Pemberontak sebagian besar suku Badui dari Fur, Zaghawa dan Massaleit. Dalam kasus Darfur ini, memanfaatkan isu etnis Arab-Afrika memang cukup mengherankan, mengingat di Darfur mayoritas beragama Islam dan tidak bisa dibedakan lagi mana Arab dan mana Afrika. “Di Darfur tidak bisa dibedakan mana yang Arab dan mana yang Afrika,” papar Deputi Menlu Sudan (Kompas, 5/8/2004).

Konflik dimulai tahun 2003, ketika pemberontak menyerang target-target pemerintahan Sudan, dengan alasan Khourtoum telah mengabaikan wilayah mereka. Ada dua kelompok utama pemberontak di sana, the Sudan Liberation Army (SLA) dan the Justice and Equality Movement (JEM). Konflik juga meluas ke Chad yang masing-masing sedang menghadapi perang saudara. Sudan menuduh pemerintah Chad membantu pemberontak di Sudan. Sebaliknya, Chad juga menuduh Sudan telah membantu pemberontak di negaranya.

Berbeda dengan perang sipil di Sudan antara kelompok Islam di Utara dan minoritas Kristen di Selatan, dalam konflik di Darfur semuanya adalah Muslim. Menyebut konflik ini seolah-olah antara Arab dan Afrika adalah tidak akurat. Semua penduduk di Darfur adalah Afrika berkulit hitam, penduduk asli dan Muslim. Sudan merupakan negara dengan jumlah penduduk sekitar 40 juta, 70% di antaranya adalah Muslim; dengan lebih 80 etnik dan suka yang berbeda; dengan bahasa yang berbeda, termasuk bahasa Arab. Penduduk Darfur sendiri sekitar 8 juta jiwa dengan luas daerah yang sama dengan Prancis.


Warisan Kolonial

Mempelajari sejarah Sudan bisa memberikan pemahaman mendasar tentang krisis Darfur dan seluruh persoalan terkini di Sudan. Kemerdekaan negara itu sendiri diberikan oleh Inggris pada 1956. Sebelumnya, yang menguasai Sudan adalah Mesir pada 1899. Saat itu Mesir sendiri berada di bawah imperium Inggris. Inggris secara langsung menduduki Darfur pada 1916. Ketidakadilan pemberian bantuan terhadap daerah-daerah pedalaman telah membuat munculnya kesenjangan kesejahteraan rakyat Sudan secara keseluruhan.

Penjajah Inggris lalu membuat sejumlah kebijakan yang menjamin keberlangsungan penjajahan mereka. Sudan kemudian dibagi atas utara dan selatan. Sudan utara dikembangkan dan diisolasi dari Sudan wilayah selatan. Mereka melarang penduduk wilayah utara untuk masuk ke selatan. Di Selatan mereka mencegah penyebaran Islam dan tradisi Islam dan memperkenalkan misionaris Kristen. Inggris pun membangun kesadaran identitas penduduk Sudan wilayah selatan, bahwa mereka adalah penduduk asli Afrika (yang berbeda dengan Utara). Tidak hanya itu, Inggris pun membangun pola pemerintahan tradisional di bawah pimpinan para syaikh di Utara dan pemimpin suku di Selatan yang memberikan andil terhadap lemahnya sistem pemerintahan Sudan dikemudian hari.

Mirip dengan konflik yang lain, masalah kemiskinan menjadi faktor yang menonjol dalam konflik sekarang ini. Setelah kemerdekaan, Sudan harus menghadapi perang sipil yang pertama tahun 1970, namun bisa diatasi oleh pemerintah. Tahun 1983 perang kembali pecah yang berakhir tahun 2003. AS diduga membantu pemberontak Kristen di sana. Tidak begitu lama, konflik pecah kembali. Campur tangan asing memberikan andil yang cukup besar dalam krisis Sudan. Distabilitas ini biasanya terjadi di daerah yang alamnya kaya dan strategis.

Bisa dimengerti mengapa negara-negara besar ingin menguasai Darfur, mengingat kekayaannya. Minyak dari Darfur telah memberikan pendapatan sebesar 4 miliar dolar AS kepada pemerintah Sudan, lebih dari setengah pendapatan total negara itu. Pemerintah Sudan juga sudah membuka hubungan erat dengan Cina. Sudan mensuplai hampir 10 persen impor minyak Cina. Sementara itu, AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu.

Tuduhan pelanggaran HAM terhadap Sudan selama ini sepertinya sengaja dilakukan untuk menutupi persaingan Cina dan Amerika merebut minyak Sudan. Harian The Guardian mengungkap, persoalan minyaklah yang menyebabkan AS dan Inggris sangat keras terhadap Sudan. Negara-negara Barat mengetahui kekayaan minyak yang ada di Barat dan Selatan Sudan. Di wilayah Barat Sudan ditemukan uranium selain gas dan emas. Motif minyak ini pernah diungkap deputi Menteri Luar Negeri Sudan Muhammad Najib El-Khoir, “Memang, AS-lah yang menemukan sumber minyak itu dulunya. Namun, kami kemudian mengarahkan kerjasama di bidang perminyakan dan pertambangan kepada negara-negara Asia antara lain Cina dan Malaysia. Karena itu, wajar saja kalau AS kemudian berang kepada kami.” (Kompas, 5/8/2004).

Tuduhan HAM ini pun semakin kehilangan legitamasi moralnya, mengingat pelanggaran HAM berat yang justru dilakukan oleh AS sekarang. Alasan HAM pun semakin lemah, mengingat sikap berbeda AS terhadap pemberontak di Sudan Selatan (SPLA). Seperti yang pernah dilaporkan Harian Economist (maret 1998), pada masa kepemimpinan John Garang, SPLA banyak melakukan pembantai terhadap rakyat sipil, pembunuhan dan pemerkosaan. Terhadap SPLA pemerintah AS cenderung diam, bahkan menurut beberapa pihak, AS justru mempersenjatai SPLA. The Sunday Times (17/11/1996) juga pernah mengungkap, pemerintah Clinton meluncurkan kampanye untuk membuat ketidakstabilan pemerintah Sudan. Lebih dari 20 miliar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, termasuk ke pemberontak SPLA.

Seperti biasa, PBB pun digunakan oleh negara-negara kolonialis demi kepentingan penjajahan Barat. Rencana pengiriman 20 ribu pasukan PBB untuk menggantikan 7000 pasukan African Union harus dibaca dalam konteks memuluskan kepentingan AS dan sekutunya di Sudan. Intervensi asing adalah langkah pertama untuk menghilangkan pengaruh pemerintah Sudan di Darfur. Kasus Sudan ini kembali membuktikan, bahwa PBB tidak lain merupakan alat kolonial negara-negara Imperialis.


Butuh Solusi Islam

Mulusnya intervensi asing ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah sekular di negeri Islam, termasuk Sudan. Alih-alih menjaga diri dari intervensi asing, penguasa di negeri-negeri Islam justru memberikan andil besar dengan tunduknya mereka kepada pihak asing. Penguasa negeri Islam ini juga telah menciptakan kondisi awal (pretext) bagi Barat untuk melakukan intervensi asing. Sikap represif terhadap rakyat dan kegagalan mensejahterakan rakyat sering dijadikan oleh pihak asing sebagai bentuk pelanggaran HAM. Ketidakadilan ini juga membuat tuntutan untuk memisahkan diri atau memberontak semakin membesar.

Ketiadaan Khilafah Islam lagi-lagi menjadi pangkal utama semua ini. Potensi pemberontakan atau pemisahkan diri akan kecil di bawah sistem Khilafah yang akan memperhatikan rakyatnya. Demikian juga non-Muslim, akan diperlakukan secara adil. Mereka berkedudukan sama dengan Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah Islam. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) mereka; termasuk menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis. Yang lebih penting lagi, negara Khilafah tidak akan memberikan peluang bagi asing walaupun sedikit untuk melakukan intervensi.

No comments: