Wednesday, August 6, 2008

AKUNTABILITAS DALAM NEGARA KHILAFAH

Pengantar

Telaah kali ini akan mengupas buku berjudul Accountability in the Khilafah (Akuntabilitas dalam Negara Khilafah) karya Abdul-Karim Newell (www.khilafah.com). Akuntabilitas di sini, artinya adalah Muhasabah, yaitu tindakan mengkritik atau mengoreksi penguasa.

Buku itu memang layak ditelaah. Karena tema sentralnya --yaitu akuntabilitas-- masih menjadi utopia atau setidaknya barang mewah untuk Dunia Islam. Di satu sisi, Dunia Islam banyak dicengkeram oleh rejim otoriter yang kejam dan anti-kritik, seperti rejim Mesir, Pakistan, dan Uzbekistan. Di sisi lain, demokrasi yang dipaksakan Barat di Dunia Islam, seperti di Irak dan Afghanistan, hanyalah tawaran gila yang tak patut diterima oleh manusia waras. Pada dua sisi tersebut, akuntabilitas menjadi angan-angan melangit yang jauh dari bumi tempat berpijak.

Karena itu, umat harus tahu bahwa akuntabilitas bukanlah barang haram, melainkan suatu hak yang telah diberikan oleh Islam kepada mereka. Buku ini menjelaskan bagaimana hak politik ini diberikan dan diatur oleh Islam, khususnya ketika umat hidup dalam negara Khilafah, yang akan berdiri sebentar lagi insya Allah.

Latar Belakang

Newell mempersembahkan bukunya untuk umat Islam yang tengah berjuang mewujudkan sistem kehidupan idaman, yaitu negara Khilafah. Perjuangan ini dilakukan untuk membebaskan diri dari dua kondisi yang menyengsarakan; Pertama, adanya pemerintahan diktator atau represif di Dunia Islam. Kedua, adanya kegagalan demokrasi di Dunia Islam.

Mengenai rejim diktator, Newell mencontohkan rejim Mesir, Pakistan, dan Uzbekistan. Di Mesir, seorang lelaki bernama Imad Kabir telah mengalami penyiksaan brutal dan pelecehan seksual saat diinterogasi polisi. Bahkan penyiksaan itu disyuting lalu disiarkan di internet. Di Pakistan, Presiden Pervez Musharraf memecat Jaksa Agung yang menentang kebijakan-kebijakannya. Sementara di Uzbekistan, Presiden Islam Karimov menyiksa aktivis dakwah secara biadab, yakni merebusnya hidup-hidup dalam air mendidih. (hal. 4).

Kegagalan demokrasi Dunia Islam, dicontohkan Newell dengan menunjukkan payahnya eksperiman demokrasi Irak. Setelah menginvasi Irak tahun 2003, Washington melalui Condoleeza Rice berkomitmen menjadikan Irak sebagai model demokrasi ideal di Timur Tengah. Tapi apa lacur, proyek ini gagal secara spektakuler dan memalukan. Model demokrasi Irak ini, kata Newell, "is a model no-one wants to follow." (suatu model yang tiada seorang pun yang ingin mengikutinya). (hal. 4)

Dua kondisi itulah yang mendorong umat bersemangat menapaki langkah menuju sistem alternatif, yaitu negara Khilafah. Tapi jalan yang ditempuh ini ternyata amat terjal dan tak mudah. Karena Barat dan antek-anteknya selalu berusaha menghalang-halangi. Antara lain dengan propaganda hitam bahwa Khilafah adalah negara otoriter yang non-akuntabel (anti-kritik), atau negara utopia yang hanya bisa dijalankan oleh orang suci (ma'shum, saints). George Bush dalam pidatonya di Capital Hilton Hotel 5/9/2006 berucap,"Khilafah akan menjadi sebuah imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri muslim yang dahulu dan sekarang, mulai dari Eropa sampai Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tenggara." Sementara itu Abdel Wahhab El-Affendi dalam bukunya Who Needs an Islamic State? (1991) menulis secara ngawur bahwa Khilafah hanya akan dapat berjalan jika Khalifahnya adalah orang suci. (hal. 5-6).

Propaganda hitam semacam itu ingin membuktikan bahwa Khilafah adalah negara yang tidak menghargai akuntabilitas (muhasabah). Karena Khilafah dianggap sistem totaliter, atau hanya bisa dijalankan oleh orang suci yang tidak lagi memerlukan nasehat ataupun kritik. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya buku karya Abdul-Karim Newell. Penulisnya ingin membuktikan bahwa akuntabilitas bukanlah utopia, tapi sebaliknya merupakan hak umat yang dijamin secara penuh oleh Islam dalam negara Khilafah.

Tiga Jaminan Akuntabilitas

Bagaimana Islam menjamin akuntabilitas dalam negara Khilafah? Inilah pertanyaan yang jawabannya menjadi substansi isi buku Newell. Newell menjelaskan bahwa akuntabilitas ini dijamin melalui 3 (tiga) mekanisme; Pertama, akuntabilitas melalui institusi-institusi negara, yaitu Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. Kedua, akuntabilitas melalui partai politik. Ketiga, akuntabilitas melalui individu warga negara (hal.6). Uraian-uraian Newell terutama didasarkan pada kitab Masyru' Ad-Dustur (RUUD Khilafah) dan kitab Muqaddimah Ad-Dustur (1964) karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, khususnya pasal-pasal yang menyangkut muhasabah al-hukam (akuntabilitas kepada Khalifah dan aparat negara lainnya).

1. Akuntabilitas Melalui Institusi Negara

Khalifah memang memegang kekuasaan yang besar, seperti melegislasi UU, mengelola urusan dalam dan luar negeri, menjadi pemimpin tertinggi angkatan bersenjata, mengangkat dan menerima para duta besar, mengangkat dan memberhentikan para gubernur (wali), mengangkat dan memberhentikan para hakim, dan menetapkan APBN. (hal. 12).

Namun kekuasaan Khalifah itu sesungguhnya tidaklah absolut (mutlak), karena ada lembaga-lembaga negara yang mengimbangi kekuasaan Khalifah. Newell menyebut istilah counterbalance (perimbangan kekuasaan) yang berarti akan ada mekanisme akuntabilitas terhadap Khalifah dari lembaga-lembaga negara, yaitu Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim (hal.27-30).

Msalnya, ketika Khalifah menjalankan kekuasaannya melegislasi UU (pasal 36 RUUD Khilafah), dia tidak boleh bertindak seenaknya. Di samping UU yang dilegislasi wajib bersumber wahyu, akan ada counterbalance terhadap otoritas Khalifah ini. Anggota muslim Majelis Umat dapat memberikan kritik atau masukan terhadap RUU yang akan diadopsi khalifah, meski pendapat Majelis Umat ini tidak bersifat mengikat. (pasal 111 ayat 2 RUUD Khilafah). Mahkamah Mazhalim bahkan dapat membatalkan RUU itu, jika RUU itu dianggap sebagai kezhaliman (mazhlimah), karena Mahkamah Mazhalim berkewajiban menghilangkan segala bentuk kezhaliman yang dilakukan oleh Khalifah atau aparat pemerintahan lainnya atas rakyat. (pasal 87 RUUD Khilafah).

Ketika UU sudah dilegislasi oleh Khalifah kemudian antara Khalifah dan umat timbul perbedaan penafsiran mengenai pengertian pasal-pasalnya, Khalifah tidak bisa memaksakan penafsirannya. Karena Mahkamah Mazhalim sajalah yang berhak menentukan makna yang dimaksudkan oleh UU. (pasal 91 RUUD Khilafah).

Demikian pula, meski pun hakim-hakim Mahkamah Mazhalim diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, tapi Khalifah tidak dapat memberhentikan mereka sesukanya. Sebab Khalifah tidak boleh memberhentikan hakim Mahkamah Mazhalim ketika Khalifah menjadi tersangka atas kasus kezhaliman yang dilakukannya. (pasal 88 RUUD Khilafah). (Newell, Accountability in the Khilafah, hal.27-30).

2. Akuntabilitas Melalui Partai Politik

Jaminan akuntabilitas kedua dalam Khilafah adalah akuntabilitas melalui partai politik (parpol), yang pendiriannya disyariatkan berdasarkan QS 'Ali Imran ayat 104. Jika dikelola secara baik, parpol akan dapat mengagregasikan pesan individu rakyat menjadi suatu tekanan yang masif lagi kuat bagi penguasa (hal.32).

Newell menyatakan, tindakan penguasa Dunia Islam yang kejam terhadap kelompok-kelompok Islam oposisi membuktikan betapa takutnya penguasa terhadap parpol. Newell mencontohkan yang terjadi di Uzbekistan. Menurut catatan Human Rights Watch Uzbekistan, Muzafar Avazov (35 tahun), seorang aktivis Islam, dibunuh secara kejam di penjara Jaslik. Di tubuhnya ditemukan bekas-bekas luka bakar di kaki, pantat, punggung bawah, dan kedua lengan. Terdapat indikasi bahwa Avazov direbus hidup-hidup sampai mati. (hal.32-33).

Meski demikian, kebrutalan Presiden Islam Karimov itu tidak lantas memadamkan gelora api kelompok Islam tempat Muzafar berjuang. Kekejaman penguasa Uzbekistan tersebut bahkan membuat kelompok Islam itu menjadi lebih kuat daripada waktu-waktu sebelumnya. (hal. 33).

3. Akuntabilitas Melalui Individu

Akuntabilitas dalam Khilafah juga dijamin melalui aktivitas individu umat secara langsung. Jadi meski sudah ada Majelis Umat yang berbicara atas nama umat, namun hak akuntabilitas masih ada di pundak masing-masing individu umat. Hal ini dikarenakan nash-nash syariah menunjukkan tugas amar ma'ruf nahi munkar bukanlah tugas parpol Islam semata, melainkan juga tugas setiap individu muslim. Media massa dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalankan akuntabilitas terhadap para penyelenggara negara Khilafah. (hal.34).

Keistimewaan Buku

Buku karya Newell ini memang tipis dan ringkas, hanya 41 halaman. Namun buku ini mempunyai beberapa keistimewaan, di antaranya :

1. Banyak memberikan ilustrasi nyata (faktual).

Newell tak hanya bicara pada dataran normatif (menerangkan norma syariah), namun juga berusaha menampilkan ilustrasi nyata. Dengan demikian pencerapan pembacanya tidak berhenti pada tahap informasi (al-ma'lumat), tapi dapat sampai pada mafhum (persepsi) berkat ilustrasi faktual (al-waqi') yang disajikannya.

Sebagai contoh, Newell menerangkan norma syariah bahwa Qadhi Mazhalim (hakim Mahkamah Mazhalim) berhak melarang Khalifah yang akan memungut pajak tanpa alasan syariah. Newell mencontohkan, misalnya Khalifah akan memungut pajak untuk membangun sebuah masjid dalam rangka ulang tahunnya, seperti Raja Hassan II (Tunisia) yang memungut pajak untuk merayakan ulang tahunnya ke-60 dengan membangun masjid yang menghabiskan dana gila-gilaan : 800 juta dolar AS ! Hal ini tentu wajib dicegah oleh Mahkamah Mazhalim, andaikata pelakunya adalah Khalifah. (hal. 23).

2. Membandingkan Secara Kontras dengan Sistem Demokrasi.

Newell seringkali membandingkan konsep Islam dengan konsep demokrasi dalam berbagai hal terkait akuntabilitas. Hal ini tentu sangat membantu kita yang hidup dalam sistem demokrasi yang kufur, sehingga kita dapat mengetahui dengan jelas perbedaan tajam antara sistem demokrasi dan sistem Khilafah.

Misalnya ketika Newell menerangkan tugas dan fungsi Majelis Umat. Sekilas Majelis Umat mirip dengan parlemen dalam sistem demokrasi, karena keduanya beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Namun fungsinya beda. Dalam sistem demokrasi, parlemen mempunyai hak legislasi. Sedang Majelis Umat, tugasnya adalah menjalankan akuntabilitas (muhasabah) dan konsultasi (syura) terhadap Khalifah. Majelis Umat tidak punya hak legislasi. Karena dalam Islam hak legislasi ada di tangan syariah (as-Siyadah li asy-Syar'i), yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh Khalifah saja. (hal.25).

Penutup

Pada bab Kesimpulan (hal. 37), Newell menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang layak dan akuntabel bagi umat hanyalah Khilafah, yang telah sukses diterapkan 1300 tahun lebih. Sementara itu setelah hancurnya Khilafah tahun 1924, bermacam-macam sistem pemerintahan telah diterapkan umat namun semuanya gagal. Sistem demokrasi yang terus dipaksakan Barat harus dibuang. Karena kata Newell, "democracy is an alien, man-made system that has no place in the Muslim World." (demokrasi adalah makhluk asing, sistem buatan manusia yang tidak punya tempat di Dunia Muslim). Wallahu a'lam. [ ]

DAFTAR PUSTAKA

An-Nabhani, Taqiyuddin, Masyru' Ad-Dustur, www.khilafah.com

----------, Muqaddimah Ad-Dustur wa Asbab Al-Mujibah Lahu, (t.tp. : Mansyurat Hizb Al-Tahrir), 1964

Newell, Abdul Karim, Accountability in the Khilafah, www.khilafah.com

The Khilafah is Not a Totalitarian State, www.khilafah.com

No comments: